Rabu, 28 September 2011 0 komentar

Senyum

Andai Ku Bisa Untuk Mengabadikan,, 
Akan Ku Simpan Erat Hiasi Mimpiku,, 
Senyum Yang Terlalu Indah Untuk Ku Miliki,, 
Tetaplah Berseri.. 

Bila Nanti Ku Beranikan Diri,, 
Akankah Senyum Itu Selalu Ada Di Bibirmu,, 
Cukup Bagiku Mencintamu Dari Kejauhan.. 

Ku Tak Ingin Kehilangan Dirimu,, 
Bila Nanti Kau Tahu Sebenarnya Perasaanku,, 
Dan Perlahan Kau Pun Kan Menjauh.. 

Biarkanlah Kupendam Rasa Ini Dalam Hati,, 
Ku Selalu Menanti Keajaiban,, 
Dan Terus Bertahan Selama Ku Masih Melihatmu Tersenyum... 

wirtten by le crucial
0 komentar

Sensor vs Kebebasan Informasi - Dilematis Media vs Audience

scan10003-smalljpg
Tentang Informasi
Jika kita ingat sepuluh tahun ke belakang, rasanya belum pernah terbayang bahwa teknologi informasi bisa tumbuh sangat pesat seperti hari ini. Informasi yang beredar di masyarakat begitu deras dan cepatnya. Akibatnya masyarakat bisa jadi kewalahan bahkan tak mampu mengimbangi derasnya informasi tersebut.
Dari konteks tersebut rasanya kita sulit mengkategorikan kejadian ini sebagai sebuah kemajuan atau ancaman. Seperti pisau bermata ganda, teknologi informasi sering disikapi dengan pro dan kontra. Ada pihak yang mendukung penuh kemajuan teknologi informasi ini ada pula yang mengkhawatirkan sebagai ancaman kerapuhan sosial.
Teknologi informasi berdampak langsung terhadap era keterbukaan. Saat ini setiap orang mampu menerima informasi secara langsung dan lebih cepat dari sebelumnya. Begitu pun sumber berita yang dulu hanya didapat dari media massa kini semua orang sudah bisa menjadi reporter, wartawan, atau nara-sumber. Keterbukaan ini membuat masyarakat seakan berada di dalam dunia yang tanpa batas, baik batas waktu, batas wilayah, batas profesi, batas agama, batas norma, batas realita, bahkan batas-batas susila.
Di sisi lain, keterbukaan informasi ini menjadi manfaat besar bagi banyak masyarakat pula. Keterbukaan informasi menjadikan sistem negara demokrasi menjadi lebih terbuka. Keterbukaan informasi seakan menjadi alat penting dalam era keterbukaan pemerintahan. Presiden, menteri, dan masyarakat bisa langsung saling menyapa dan memberikan saran dan masukan satu dengan yang lainnya. Bahkan beberapa menteri pun sudah siap menggunakan Twitter sebagai sarana komunikasi dengan masyarakat. Lewat alat komunikasi canggih seperti internet sebuah opini publik bisa lekas disikapi oleh pemerintah, misalnya dalam kasus KPK kemarin.
Keterbukaan ini jelas hanya terjadi masa kini saja. Dahulu rasanya sulit sekali mencari informasi. Masyarakat butuh upaya lebih demi mencari sebuah informasi. Belum lagi sistem pemerintah untuk mengatur peredaran informasi di masyarakat lewat cara yang disebut sensor.

Tentang Sensor
Sensor merupakan salah satu upaya penyaringan informasi yang akan menyebar di masyarakat. Sensor saat ini menjadi momok di era super keterbukaan informasi. Sensor nampaknya menjadi kuno dan musti segera dihapuskan. Tapi apa betul sensor itu merupakan hal yang bertentangan dengan keterbukaan informasi?
Saat film  2012 beredar, beberapa masyarakat bahkan MUI menyarankan agar film tersebut ditarik dari peredaran, karena dianggap tidak layak tonton oleh masyarakat. Sementara di  masyarakat sisi lain justru tidak mempermasalahkan apa yang dikhawatirkan oleh MUI dan masyarakat sisi lainnya lagi. Lalu film Balibo, yang dianggap bisa mempermasalahkan hubungan RI dangan Australia, sebelumnya juga tentang melibatkan Maria Ozawa di salah satu film nasional, ada yang melihatnya biasa-biasa saja, ada pula yang menilainya sebagai ancaman moral bangsa. Bagaimana ini bisa dibedakan?
Sensor seringkali dikaitkan dengan pembatasan informasi asusila. Kenyataannya fungsi sensor lebih dari sekedar “polisi asusila”. Dalam sebuah tayangan yang menampilkan sebuah adegan kejam, keji, atau berkaitan dengan SARA, jelas akan dikenakan sensor. Fungsi sensor jelas dalam konteks melindungi masyarakat. Gambar adegan kejam dan keji misalnya, tentu tidak layak ditayangkan jika bisa menbuat masyarakat resah dan cemas. Begitu pula jika ada tayangan yang bisa dianggap melanggar norma-norma susila, tentu akan dilarang.
Akan tetapi, apa parameternya jika masyarakat yang satu dengan yang lain berbeda dalam menilai sebuah nilai-nilai? Semisal dalam kasus tayangan norma susila. Di beberapa masyarakat filmBaywatch bisa dikatakan biasa saja, akan tetapi di wilayah lain tentu bisa meresahkan norma susila masyarakatnya. Begitu pun dengan adegan berdarah-darah, bagi beberapa golongan masyarakat mungkin biasa saja namun di beberapa masyarakat lainnya bisa jadi meresahkan. Walau kita mengenal istilah norma dan nilai-nilai obyektif, namun nampaknya hal ini tetap sulit untuk digolongkan begitu saja.

Edukasi Masyarakat (Audience)
Melihat dua kondisi yang selalu berbeda itu, nampaknya ada satu hal penting yang terlupakan dari kontradiksi antara SENSOR vs KETERBUKAAN ini, yaitu tingkat pendidikan masyarakat sebagai pencapir-nya (penonton - pendengar - pembaca - pirsawan). Tingkat pendidikan jelas akan mempengaruhi tingkat persepsi. Hal ini penting sekali dan keliatannya sering dilupakan. Persepsi seseorang sudah pasti bisa beda dengan persepsi orang lainnya walau dalam tingkat pendidikan yang sama, apalagi jika persepsi itu dihadapkan pada orang dalam tingkat pendidikan yang berbeda.
Indonesia memiliki lebih dari 250 juta manusia dalam tingkatan pendidikan yang berbeda, bahkan jauh sekali bedanya. Jurang tingkat pendidikan ini nampak jelas saat terjadinya kontroversi pengadaan Ujian Nasional (UN) di tingkat sekolah menengah. Masalahnya cuma karena mereka merasa materi yang diujikan belum mencapai tingkat yang sama antara satu daerah dengan daerah lainnya. Ini masih dalam lingkup pelajar, bagaimana di tingkat orang-orang tua mereka yang jelas jauh dari pendidikan yang layak?
Disini lah duduk perkaranya bahwa sensor itu musti tetap dilakukan dalam hal siapa pemirsa yang akan melihat / menonton / mendengar / membaca-nya. Wawasan dan latar belakang pendidikan manusia sebagai penerima informasi sangatlah penting. Saat manusia menerima sebuah sensasi dari panca inderanya, maka saat itu otak akan melakukan persepsi, lantas dari persepsi inilah seseorang akan menyikapi informasi-informasi yang diterima inderanya. Minimnya wawasan dan informasi seseorang jelas akan berdampak terhadap persepsi dan sikapnya.
Bioskop kita melakukan sistem sensor juga pembatasan penontonnya lewat kategori usia penonton, ada kategori semua umur, 17 tahun ke atas, khusus dewasa dan yang lainnya. Akan tetapi nampaknya pembatasan lewat kategori usia tidaklah cukup, sudah saatnya distributor film di Indonesia melakukan pembatasan peredaran film ke daerah-daerah yang tingkat pendidikan masyarakatnya dikategorikan rendah. Begitu pula halnya dengan penayangan acara di televisi. Seiring dengan pembatasan stasiun dan penyiaran acara tv lokal, maka sistem tersebut bisa dilakukan sebagai batasan juga. Acara-acara TV yang sekiranya tidak layak ditonton di wilayah daerah tertentu maka tidak boleh disiarkan disana.

Keterbukaan Informasi VS Keterbatasan Psikologis
Hal lain yang musti kita ingat dari reaksi penonton adalah dampak psikologisnya. Kita musti sadar bahwa apapun yang ditonton oleh penonton jelas akan mempunyai dampak secara psikis. Baik itu perasaan senang, sedih, marah, cemas, dan seterusnya. Dampak psikologis ini pun berkaitan langsung dengan tingkat pendidikan si penonton tadi. Makin minim tingkat pendidikannya maka bisa dipastikan penonton tersebut makin sulit mengatur reaksi psikologinya saat menonton. Contohnya, seorang pembantu rumah tangga bisa sangat sedih saat menonton sinetron di TV. Atau seorang mahasiswa bisa sangat marah saat menonton sekilas info, atau seorang ibu rumah tangga yang cemas saat mendengar berita seorang selebriti mau cerai.
Dampak psikoligis ini yang seringkali suka disamaratakan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Seringkali kita lupa bahwa di wilayah lain negeri ini masih banyak penonton yang minim persepsinya dalam melihat materi tontonan. Jargon kebebasan menerima informasi seakan-akan ditembak rata, lalu keterbatasan informasi seakan dianggap sebagai pengekangan kebebasan. Benarkah demikian? Saya rasa tidak juga.
Seorang ibu jelas ingin membiarkan anak-anaknya menonton TV, akan tetapi si ibu pun tidak mau anak-anaknya menonton tayangan yang menyeramkan, membuat anaknya cemas, apalagi takut. Berita-berita di TV seringkali menayangkan kejadian yang cenderung vulgar, makin vulgar dianggap makin otentik, dan makin otentik dianggap makin valid. Tapi mereka lupa bahwa yang valid, otentik, dan vulgar tadi ternyata tidak dibutuhkan oleh anak-anak. Mereka belum mampu menyikapi tayangan tadi itu dengan persepsi yang sama dengan orang dewasa, hasilnya tentu akan berdampak buruk bagi perasaan dan psikologi anak. Contoh lain, bahwa ada banyak penonton yang takut melihat darah, tayangan sadis, tayangan horor, juga tayangan yang membuat mereka jengah. Ini pun musti dihargai.
Dari kejadian-kejadian tadi, maka saya beranggapan bahwa keberadaan LSF, censorship, dan KPI tetap musti ada, akan tetapi dengan paramater dan kategori-kategori yang jelas dan proporsional. Tidak hantam kromo. Seperti kasus komik nabi di sebuah blog kemarin itu, masalahnya itu cuma seekor tikus di sebuah lumbung padi, lantas pembasmiannya dengan mengebom si lumbung padinya. Betul, bahwa tikus itu mati, namun semua isi lumbung termasuk lumbungnya pun ikut hancur. Sikap ceroboh inilah yang saya rasa musti dicermati lebih dalam lagi.
Selamat menonton dengan nyaman :)


Sumber
0 komentar
Google Doodle hari ini merayakan ulang tahun ke-13 dari Google, setelah tiga belas tahun yang lalu pada tanggal 27 September perusahaan tersebut didirikan pertama kali oleh Sergey Brin dan Larry Page.
Seperti pengamatan okezone, Selasa (27/9/2011), di layar mesin pencari Google ditampilkan gambar kue ulang tahun, balon, lilin, dan font huruf Google yang memakai topi ulang tahun.
Apabila pengguna mengklik gambar ilustrasi ulang tahun tersebut akan muncul tulisan "Google 13's birthday". Gambar perayaan ini juga ditampilkan di mesin pencari Google di seluruh dunia, tidak hanya versi Amerika Serikat (AS) saja.
Google Doodle dibuat oleh Google untuk memperingati kejadian-kejadian istimewa, seperti ulang tahun tokoh-tokoh ternama dan hari-hari besar dunia. Google Doodle pertama kali dibuat pada tahun 1998 dan mendapat hak patennya pada tahun 2010.
Tokoh-tokoh yang pernah dibuatkan Google Doodle antara lain Andy Warhol, Albert Einstein, Leonardo da Vinci, Rabindranath Tagore, Louis Braille, Percival Lowell, Edvard Munch, Nikola Tesla, Béla Bartók, René Magritte, Michael Jackson, Akira Kurosawa, H. G. Wells, Samuel Morse, Hans Christian Ørsted, Mohandas Gandhi, Dennis Gabor, Antonio Vivaldi, Jules Verne dan lain-lain.
Google Doodle terakhir dirayakan pekan lalu, ketika perusahaan internet terbesar tersebut mengenang Jim Henson sebagai tokoh pencipta acara TV anak-anak yang sukses yakni The Muppet Show.

 
;